Pendapat saya setelah mengikuti
perkuliahan tentang bencana-bencan kota,saya berpendapat bahwa hal yang selama
ini harus kita perhatikan dalam membangun kota adalah faktor lokasi kota itu
akan dibuat atau dikembangkan,dengan pertimbangan apakah kota tersebut bebas
dari bencana atau kota yang sering terkena bencana. Agar dalam pembangunan kota
nantinya bisa menjadi kota tahan bencana atau minimal kota yang bisa bertahan
saat bencana datang. Karena sangat merugikan bukan hanya kota tersebut tapi
orang yang beraktivitas didalam kota itu sendiri.
Siklus Manajemen Bencana (Respons, Recovery, Mitigasi dan
Kesiapsiagaan)
Pembahasan siklus manajemen bencana ini berdasarkan hasil resume diskusi
kelompok kami dengan sedikit pengayaan tambahan dari penulis dengan tetap
mengacu pada hasil diskusi tsb. Secara siklus, dalam manajemen penanganan
bencana terdiri dari tahapan; response, recovery, mitigation dan preparedness.
A. Siklus Tangap Darurat (Respons).
Pada siklus tanggap darurat (respons) bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Tahapan pelaksanaan pada
fase tanggap darurat meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap
lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat
bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; pemenuhan
kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan dengan
segera prasarana dan sarana vital.
Lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana ini yaitu Pemerintah, NGO; baik
lokal maupun international atau dari element masyarakat itu sendiri dalam
bentuk swadaya/ gotong royong. Pemerintah berdasarkan hirarkinya telah membentuk
suatu badan yang dikenal dengan Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB)
sementara ditingkat Provinsi seperti di Aceh dikenal dengan Badan Penangulangan
Bencana Aceh ( BPBA) sementara di tingkat kabupaten disebut Badan Penangulangan
Bencana Daerah (BPBD). Prinsipnya tugas lembaga ini berfungsi sebagai komando,
koordinasi dan pelaksana . Selain itu walaupun dari pemerintah itu sendiri
masih ada bidang yang terkait dengan kebencanaan yang bersifat dibawah Dinas/
institusi seperti; Dinas Sosial, Dinas Kesehatan (Brigade tanggap darurat),
Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK, Basarnas, BAPENAS/ BAPEDA, TNI/Polri, PDAM , PLN ,
BULOG, BMKG , Dishubkomintel dll serta NGO lokal maupun Internasional. Pada
saat fase Respons tunduk dibawah Badan Nasional Penangulangan Bencana atau
jajaran dibawahnya (BPBA kalau di provinsi Aceh dan BPBD di daerah Kabupaten)
yaitu bergabung dengan tim yang di beri nama Tim Reaksi Cepat (TRC) hasil
bentukan dari BPBA itu sendiri. Kegiatan yang menjadi fokus pada siklus
respons/ saat tanggap darurat meliputi: melakukan penyelamatan, evakuasi korban
dan harta benda; melakukan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana; melakukan
pemulihan pelayanan di bidang keagamaan; melakukan perlindungan dan pengurusan
pengungsi; dan melakukan pemulihan sarana dan prasarana umum.
Penyelamatan, evakuasi korban dan harta benda meliputi:
pencarian dan penyelamatan korban; pertolongan darurat; dan evakuasi korban dan
harta benda. Pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana, meliputi: kebutuhan air
bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; dan penampungan dan
tempat hunian. Pemulihan pelayanan dibidang keagamaan, meliputi: penyuluhan
agama; penyediaan kebutuhan pelayanan keagamaan; pelayanan psikososial;
bimbingan dan konseling keagamaan; dan pelaksanaan fasilitasi fardhu kifayah.
Perlindungan dan pengurusan pengungsi, meliputi: pendataan; penempatan pada
lokasi yang aman; pemenuhan kebutuhan dasar; pemberian perlindungan prioritas
kepada kelompok rentan; dan pemberian bantuan santunan duka cita. Juga melakukan
pemulihan sarana dan prasarana umum seperti rumah sekolah, masjid, perbaikan
selokan umum dll.
Kehadiran institusi pemerintah maupun non pemerintah secara
spesifik berupa keordinasi lintas sektoral sesuai dengan kebutuhan dalam
penanganan bencana terutama pada siklus Respons serta kapasitas masing
masing institusi seperti; Dinas Sosial, dinas ini berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan logistic meliputi sandang, pangan dan papan. Dinas Kesehatan (Brigade
tanggap darurat), dinas ini berfungsi sebagai tempat layanan kesehatan
masyarakat. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK, dinas ini berfungsi membuka dan membuat
jalur untuk memudahkan akses bantuan ke lokasi bencana dan penyiapan
titik pengungsian. Basarnas, badan ini berfungsi sebagai tim evakuasi korban.
TNI/Polri, lembaga ini sebagai tim evakuasi , penyaluran logistik,
pembuatan hunian sementara dan membuka jalur akses ke lokasi bencana. PDAM,
lembaga ini berfungsi untuk penyediaan air bersih dan pemulihan sarana
pendukung yang dibutuhkan dalam penyediaan air bersih. PLN, lembaga ini
berfungsi untuk memulihkan dan penyediaan sarana penerangan yang dibutuhkan.
BULOG, badan ini berfungsi untuk penyediaan logistic pangan yang dibutuhkan
pada saat tangggap darurat. BMKG, badan ini berfungsi sebagai pemberi informasi
perkembangan situasi terkini yang berkaitan dengan data yang dibutuhkan dalam
mengambil kebijakan situasi bencana. Dishubkomintel, dinas ini sebagai penyedia
sarana transportasi, pemulihan sarana komunikasi saat tanggap darurat. Non
Pemerintah; PMI dan Bulan sabit merah; membantu dalam proses pertolongan
pertama gawat darurat berkoordinasi dengan dinas kesehatan dalam menolong
korban bencana. RAPI/ORARI; mebantu dalam penyeberan informasi.
Peran masyarakat yang berdomisili dalam wilayah bencana
membentuk tim penanggulangan bencana berbasis desa yang telah terlatih dimana
masyarakat pada saat terjadi bencana dapat melakukan evakuasi mandiri,
keordinasi bersama dan pendataan korban sementara di wilayah masing-masing.
Peran yang dapat diambil oleh S2 Kebencanaan pada siklus respons adalah
membantu memberikan masukan dan menganalisi status darurat bencana
berdasarkan pada kajian keilmuan yang dimiliki.
B. Siklus Recovery.
Pada siklusRecovery kegiatan meliputi rehabilitasi
dan rekonstruksi. Rahabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana. Lembaga yang terlibat adalah pemerintah dan non pemerintah.
Pemerintah melalui BPBA/ BPBD tetap melakukan fungsinya sebagai
mengkoordinasikan dan melakukan evaluasi dan pengawasan kegiatan yang dilakukan
oleh pihak terkait yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rehabilitasi, meliputi: peningkatan kapasitas pelayanan
keagamaan; perbaikan lingkungan daerah bencana; perbaikan sarana dan prasarana
umum; pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; pemulihan sosial
psikologis; pelayanan kesehatan; rekonsiliasi dan resolusi konflik; pemulihan
ekonomi dan sosial budaya; pemulihan keamanan dan ketertiban; pemulihan fungsi
pemerintahan; dan pemulihan fungsi pelayanan publik. Rekonstruksi, meliputi:
pembangunan kembali sarana dan prasarana; pembangunan kembali sarana sosial
masyarakat; revitalisasi kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang
bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana;
peningkatan partisipasi dan peran aktif lembaga, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan budaya;
peningkatan fungsi pelayanan publik; dan peningkatan pelayanan utama dalam
masyarakat.
Peran pemerintah melalui Institusi pemerintah yang ada sebagai berikut; Dinas
Kesehatan (Brigade tanggap darurat) berupapemulihan truamatik healing,
rehabilitasi korban cacat. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK berupa membangun shealter
atau barak pengungsi. TNI/Polri berupa menjaga fungsi fasilitas publik.
PDAM berupa memperbaiki fasilitas ketersediaan air bersih bagi masyarakat. PLN
berupaya memperbaiki dan memulihkan instalasi penerangan BULOG berupaaya
menjamin ketersediaan kebutuhan pokok pangan bagi masyarakat. Dishubkomintel
melakuakan perbaikan dan pemulihan fasilitas informasi publik. Dinas
Pendidikan berupaya menjamin keberlanjutan aktivitas pendidikan baik melalui
sekolah darurat dan fasilitas pendukung lainnya.
Non Pemerintah seperti PMI saling bekerjasama dengan
dinas kesehatan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. TDMRC/ Universitas
memberikan bantuan tenaga ahli untuk proses recovery. Majelis adapt berupaya
meletakkan adat sebagai dasar pelaksanaan dalam proses recoveri dengan
memperhatikan hukum adat yang berlaku di masyarakat sehingga terjadi
harmonisasi. MPU melakukan pemulihan pelayanan keagamaan, mel;iputi fadhu
kifayah, bimbingan dan konseling keagamaan, penyulkuhan agama dan penyediaan
kebuituhan pelayanan keagamaan. dan lain-lain. NGO yang bergerak dibidang
recovery misalkan Lembaga PBB, dan lain-lain berupaya pemulihan ekonomi rakyat
dan sarana pendukung lainnya.
Peran masyarakat pada pasca bencana, masyarakat
sebagai bagian dari setiap proses recovery, memberikan pendapat dan saran dalam
perencanaan yang dibuat baik perencanaan tata ruang, peningkatan perekonomian,
dan lain-lain. Peran yang dapat diambil oleh S2 Kebencanaan adalah membantu
memberikan masukan dan menganalisi kepada tim TRC yang dibentuk dan pemerintah
dalam hal penentuan proses rahabilitasi dan rekonstruksi, berdasarkan pada
kajian keilmuan yang dimiliki.
C. Siklus Pencegahan dan Mitigasi
Pencegahan dan Mitigasi adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Sementara Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan yang dilakukan pada fase ini ada dua yaitu:
perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis
risiko bencana; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata
bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik
secara konvensional maupun modern.
Lembaga yang terlibat terdiri dari Pemerintah
(BPBA/BPBD) berupaya melakukan perencanaan penanggulangan bencana; melakukan
upaya pengurangan dan pencegahan resiko bencana; melakukan koordinasi dalam
penerapan rencana tata ruang yang berbasis pengurangan resiko bencana;
melakukan koordinasi pelestarian fungsi lingkungan hidup; melakukan koordinasi
pemanduan perencanaan pembangunan; menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan
penelitian di bidang penanggulangan bencana; melakukan pemetaan daerah rawan
bencana; menyusun persyaratan analisis resiko bencana; dan menyusun
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Pihak pemerintah yang juga meliputi Dinas Sosial melakukan
penyiapan dan perencanaan kebutuhan logistic Dinas Kesehatan melakukan
pelatihan evekuasi bencana dibidang kesehatan. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK
membuat perencanaan bangunan (building codes), relokasi , perencanaan dan
penyediaan shealter, membuat pemcahan ombak, kanal banjir. Dan lain-lain. Dinas
Pendidikan mempersiapkan pendidikan kebencanaan di seluruh tingkatan
pendidikan (SD, SMP, SMA). Non Pemerintah seperti PMI membentuk
kelompok siaga bencana desa, melakukan pelatihan dan pendidikan.
TDMRC/Universitas melakukan penelitian dan pelatihan di bidang kebencanaan.
Peran masyarakat pada fase ini menjadi bagian dari proses
mitigasi secara aktif, membentuk kelompok tangguh bencana (PRB). Peran S2
melakukan penelitian dan kajian dalam Pengurangan risiko bencana. Dan mencoba
menemukan metode-metode baru dalam Pelaksanaan PRB.
D. Siklus Preparedness
(Kesiapsiagaan).
Pada siklusPreparedness (kesiapsiagaan) adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang.
Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana
sebagaimana dimaksud meliputi: kesiapsiagaan; peringatan dini; Kesiapsiagaan,
penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; Pengorganisasian,
pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan
barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi
evakuasi penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan
peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Peringatan dini
dilakukan dengan cara: mengamati gejala bencana; menganalisa data hasil
pengamatan; mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa; menyebarluaskan
hasil keputusan; dan mengambil tindakan oleh masyarakat.
Lembaga yang terlibat pihak pemerintah (BPBA/BPBD) berupaya
melakukan perencanaan penanggulangan bencana; melakukan upaya pengurangan dan
pencegahan resiko bencana;melakukan koordinasi dalam penerapan rencana tata
ruang yang berbasis pengurangan resiko bencana; melakukan koordinasi
pelestarian fungsi lingkungan hidup; melakukan koordinasi pemanduan perencanaan
pembangunan; menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penelitian di bidang
penanggulangan bencana; melakukan pemetaan daerah rawan bencana;
menyusun persyaratan analisis resiko bencana; dan menyusun persyaratan standar
teknis penanggulangan bencana.
Prinsipnya semua lembaga pemerintah dan non pemerintah
berupaya focus pada melakukan pelatihan dan penyiapan masyarakat dalam
peningkatan capasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Peran masyarakat
yaitu diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pelatihan dan
berupaya bersiapsiaga sebaik mungkin dalam menghadapi kondisi bencana apabila
hal tersebut terulang kembali sementara peran S2 kebencanaan selain
merekomendasikan kegiatan apa yang baik dilakukan berdasarka kajian-kajiannya
juga dapat memberikan pelatihan-pelatihan dalam rangka kesiapsiagaan terhadap
bencana.
Menurut Ilhami (1988) sebagian
besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan
yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena
desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian
transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta
api, terminal bus dan sebagainya.
Pengertian kota menurut Dickinson
(dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat
dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai
rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang
tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.
Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan
penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek
ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami
peningkatan, yang semuanya itu
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar.
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya
kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan
mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal
kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota
ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).
Secara garis besar menurut
Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut :
a)Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata
pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak
disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).
b)Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola
jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian
perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier
(ribbon/linear/axial development).
c)Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola
tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board
development).
Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan
oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus
(1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki
mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat
dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur
transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap
pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1) Perluasan
mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti
jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian
polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
2)
Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang
dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3)
Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota
inti atau disebut dengan konurbasi.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam
dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch
(1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat
digambarkan sebagai berikut :
Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota
serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994)
mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a) Bentuk
satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada
dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih efektif
dan lebih efisien.
b) Bentuk
stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya
didominasi oleh ”ribbon development”.
c) Bentuk
cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama
yang melingkar.
d) Bentuk
linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan
utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke
arah samping tanpa kendala fisikal.
e) Bentuk
inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi
oleh perkembangan vertikal.
f) Bentuk
memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak
dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup
fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di
atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak
persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan
menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan
jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.
Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut
Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran
yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda.
Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi,
dengan penjelasan berikut ini :
1) Model
difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi,
material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah
ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang
didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat
asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan
jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode
waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah
penduduk, material dan ruang hunian baru.
2) Model
difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu
proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang
didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.
Menurut Ilhami (1988) sebagian
besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan
yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena
desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian
transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta
api, terminal bus dan sebagainya.
Pengertian kota menurut Dickinson
(dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat
dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai
rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang
tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.
Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan
penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek
ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang
di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk
tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di
daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut
sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar
disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).
Secara garis besar menurut
Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut :
a)Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata
pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak
disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).
b)Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola
jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian
perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier
(ribbon/linear/axial development).
c)Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola
tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board
development).
Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang
dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock
dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi
memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat
dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur
transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap
pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1)
Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya
akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota.
Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
2)
Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang
dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3)
Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota
inti atau disebut dengan konurbasi.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam
dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch
(1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat
digambarkan sebagai berikut :
Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota
serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994)
mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a) Bentuk
satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada
dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih efektif
dan lebih efisien.
b) Bentuk
stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya
didominasi oleh ”ribbon development”.
c) Bentuk
cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama
yang melingkar.
d) Bentuk
linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan
utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke
arah samping tanpa kendala fisikal.
e) Bentuk
inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi
oleh perkembangan vertikal.
f) Bentuk
memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak
dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup
fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di
atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak
persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan
menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan
jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.
Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut
Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran
yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda.
Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi,
dengan penjelasan berikut ini :
1) Model
difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi,
material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah
ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang
didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat
asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan
jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode
waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah
penduduk, material dan ruang hunian baru.
2) Model
difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu
proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang
didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.