About

SELAMAT DATANG DI BLOG RANCANG KOTA

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 November 2013

MY OPINION


            Pendapat saya setelah mengikuti perkuliahan tentang bencana-bencan kota,saya berpendapat bahwa hal yang selama ini harus kita perhatikan dalam membangun kota adalah faktor lokasi kota itu akan dibuat atau dikembangkan,dengan pertimbangan apakah kota tersebut bebas dari bencana atau kota yang sering terkena bencana. Agar dalam pembangunan kota nantinya bisa menjadi kota tahan bencana atau minimal kota yang bisa bertahan saat bencana datang. Karena sangat merugikan bukan hanya kota tersebut tapi orang yang beraktivitas didalam kota itu sendiri.
Nur janwar
601.001.11.067

SIKLUS MANAJEMAN BENCANA


Siklus Manajemen Bencana (Respons, Recovery, Mitigasi dan Kesiapsiagaan)
            Pembahasan siklus manajemen bencana ini berdasarkan hasil resume diskusi kelompok kami dengan sedikit pengayaan tambahan dari penulis dengan tetap mengacu pada hasil diskusi tsb. Secara siklus, dalam manajemen penanganan bencana terdiri dari tahapan; response, recovery, mitigation dan preparedness.
A. Siklus Tangap Darurat (Respons).
            Pada siklus tanggap darurat (respons) bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Tahapan pelaksanaan pada fase tanggap darurat meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; pemenuhan kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
            Lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana ini yaitu Pemerintah, NGO; baik lokal maupun international atau dari element masyarakat itu sendiri dalam bentuk swadaya/ gotong royong. Pemerintah berdasarkan hirarkinya telah membentuk suatu badan yang dikenal dengan Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) sementara ditingkat Provinsi seperti di Aceh dikenal dengan Badan Penangulangan Bencana Aceh ( BPBA) sementara di tingkat kabupaten disebut Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD). Prinsipnya tugas lembaga ini berfungsi sebagai komando, koordinasi dan pelaksana . Selain itu walaupun dari pemerintah itu sendiri masih ada bidang yang terkait dengan kebencanaan yang bersifat dibawah Dinas/ institusi seperti; Dinas Sosial, Dinas Kesehatan (Brigade tanggap darurat), Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK, Basarnas, BAPENAS/ BAPEDA, TNI/Polri, PDAM , PLN , BULOG, BMKG , Dishubkomintel dll serta NGO lokal maupun Internasional. Pada saat fase Respons tunduk dibawah Badan Nasional Penangulangan Bencana atau jajaran dibawahnya (BPBA kalau di provinsi Aceh dan BPBD di daerah Kabupaten) yaitu bergabung dengan tim yang di beri nama Tim Reaksi Cepat (TRC) hasil bentukan dari BPBA itu sendiri. Kegiatan yang menjadi fokus pada siklus respons/ saat tanggap darurat meliputi: melakukan penyelamatan, evakuasi korban dan harta benda; melakukan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana; melakukan pemulihan pelayanan di bidang keagamaan; melakukan perlindungan dan pengurusan pengungsi; dan melakukan pemulihan sarana dan prasarana umum.
Penyelamatan, evakuasi korban dan harta benda meliputi: pencarian dan penyelamatan korban; pertolongan darurat; dan evakuasi korban dan harta benda. Pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana, meliputi: kebutuhan air bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; dan penampungan dan tempat hunian. Pemulihan pelayanan dibidang keagamaan, meliputi: penyuluhan agama; penyediaan kebutuhan pelayanan keagamaan; pelayanan psikososial; bimbingan dan konseling keagamaan; dan pelaksanaan fasilitasi fardhu kifayah. Perlindungan dan pengurusan pengungsi, meliputi: pendataan; penempatan pada lokasi yang aman; pemenuhan kebutuhan dasar; pemberian perlindungan prioritas kepada kelompok rentan; dan pemberian bantuan santunan duka cita. Juga melakukan pemulihan sarana dan prasarana umum seperti rumah sekolah, masjid, perbaikan selokan umum dll.
Kehadiran institusi pemerintah maupun non pemerintah secara spesifik berupa keordinasi lintas sektoral sesuai dengan kebutuhan dalam penanganan bencana terutama pada siklus Respons serta  kapasitas masing masing institusi seperti; Dinas Sosial, dinas ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan logistic meliputi sandang, pangan dan papan. Dinas Kesehatan (Brigade tanggap darurat), dinas ini berfungsi sebagai tempat layanan kesehatan masyarakat. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK, dinas ini berfungsi membuka dan membuat jalur untuk memudahkan  akses bantuan ke lokasi bencana dan penyiapan titik pengungsian. Basarnas, badan ini berfungsi sebagai tim evakuasi  korban. TNI/Polri,  lembaga ini sebagai tim evakuasi , penyaluran logistik, pembuatan hunian sementara dan membuka jalur akses ke lokasi bencana. PDAM, lembaga ini berfungsi untuk penyediaan air bersih dan pemulihan sarana pendukung yang dibutuhkan dalam penyediaan air bersih. PLN, lembaga ini berfungsi untuk memulihkan dan penyediaan sarana penerangan yang dibutuhkan. BULOG, badan ini berfungsi untuk penyediaan logistic pangan yang dibutuhkan pada saat tangggap darurat. BMKG, badan ini berfungsi sebagai pemberi informasi perkembangan situasi terkini yang berkaitan dengan data yang dibutuhkan dalam mengambil kebijakan situasi bencana. Dishubkomintel, dinas ini sebagai penyedia sarana transportasi, pemulihan sarana komunikasi saat tanggap darurat. Non Pemerintah; PMI dan Bulan sabit merah; membantu dalam proses pertolongan pertama gawat darurat berkoordinasi  dengan dinas kesehatan dalam menolong korban bencana. RAPI/ORARI; mebantu dalam penyeberan informasi.
Peran masyarakat yang berdomisili dalam wilayah bencana membentuk tim penanggulangan bencana berbasis desa yang telah terlatih dimana masyarakat pada saat terjadi bencana dapat melakukan evakuasi mandiri, keordinasi bersama dan pendataan korban sementara di wilayah masing-masing. Peran yang dapat diambil oleh S2 Kebencanaan pada siklus respons adalah membantu memberikan masukan dan menganalisi  status darurat bencana berdasarkan pada kajian keilmuan yang dimiliki.
B. Siklus Recovery.
Pada siklus Recovery kegiatan meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Rahabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Lembaga yang terlibat adalah pemerintah dan non pemerintah. Pemerintah melalui BPBA/ BPBD tetap  melakukan fungsinya sebagai mengkoordinasikan dan melakukan evaluasi dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rehabilitasi, meliputi: peningkatan kapasitas pelayanan keagamaan; perbaikan lingkungan daerah bencana; perbaikan sarana dan prasarana umum; pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; pemulihan sosial psikologis; pelayanan kesehatan; rekonsiliasi dan resolusi konflik; pemulihan ekonomi dan sosial budaya; pemulihan keamanan dan ketertiban; pemulihan fungsi pemerintahan; dan pemulihan fungsi pelayanan publik. Rekonstruksi, meliputi: pembangunan kembali sarana dan prasarana; pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; revitalisasi kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; peningkatan partisipasi dan peran aktif lembaga, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
            Peran pemerintah melalui Institusi pemerintah yang ada sebagai berikut; Dinas Kesehatan (Brigade tanggap darurat) berupapemulihan truamatik healing, rehabilitasi korban cacat. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK berupa membangun shealter atau barak pengungsi. TNI/Polri berupa menjaga  fungsi fasilitas publik. PDAM berupa memperbaiki fasilitas ketersediaan air bersih bagi masyarakat. PLN berupaya memperbaiki dan memulihkan instalasi penerangan BULOG berupaaya menjamin ketersediaan kebutuhan pokok pangan bagi masyarakat. Dishubkomintel melakuakan perbaikan  dan pemulihan fasilitas informasi publik. Dinas Pendidikan berupaya menjamin keberlanjutan aktivitas pendidikan baik melalui sekolah darurat dan fasilitas pendukung lainnya.
Non Pemerintah seperti PMI saling  bekerjasama dengan dinas kesehatan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. TDMRC/ Universitas  memberikan bantuan tenaga ahli untuk proses recovery. Majelis adapt berupaya meletakkan adat sebagai dasar pelaksanaan dalam proses  recoveri dengan memperhatikan hukum adat yang berlaku di masyarakat sehingga terjadi harmonisasi. MPU melakukan pemulihan pelayanan keagamaan, mel;iputi fadhu kifayah, bimbingan dan konseling keagamaan, penyulkuhan agama dan penyediaan kebuituhan pelayanan keagamaan. dan lain-lain. NGO yang bergerak dibidang recovery misalkan Lembaga PBB, dan lain-lain berupaya pemulihan ekonomi rakyat dan sarana pendukung lainnya.
 Peran masyarakat pada pasca bencana, masyarakat sebagai bagian dari setiap proses recovery, memberikan pendapat dan saran dalam perencanaan yang dibuat baik perencanaan tata ruang, peningkatan perekonomian, dan lain-lain. Peran yang dapat diambil oleh S2 Kebencanaan adalah membantu memberikan masukan dan menganalisi kepada tim TRC yang dibentuk dan pemerintah dalam hal penentuan proses rahabilitasi dan rekonstruksi, berdasarkan pada kajian keilmuan yang dimiliki.
C. Siklus Pencegahan dan Mitigasi
Pencegahan dan Mitigasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Sementara Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan yang dilakukan pada fase ini ada dua yaitu: perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern.
Lembaga yang terlibat  terdiri dari Pemerintah (BPBA/BPBD) berupaya melakukan perencanaan penanggulangan bencana; melakukan upaya pengurangan dan pencegahan resiko bencana; melakukan koordinasi dalam penerapan rencana tata ruang yang berbasis pengurangan resiko bencana; melakukan koordinasi pelestarian fungsi lingkungan hidup; melakukan koordinasi pemanduan perencanaan pembangunan; menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penelitian di bidang penanggulangan bencana; melakukan pemetaan daerah rawan bencana; menyusun persyaratan analisis resiko bencana; dan menyusun persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Pihak pemerintah yang juga meliputi Dinas Sosial melakukan penyiapan dan perencanaan kebutuhan logistic Dinas Kesehatan melakukan pelatihan evekuasi bencana dibidang kesehatan. Dinas Pekerjaan Umum/ BMCK membuat perencanaan bangunan  (building codes), relokasi , perencanaan dan penyediaan shealter, membuat pemcahan ombak, kanal banjir. Dan lain-lain. Dinas Pendidikan  mempersiapkan pendidikan kebencanaan di seluruh tingkatan pendidikan (SD, SMP, SMA). Non Pemerintah seperti  PMI  membentuk kelompok siaga bencana desa, melakukan pelatihan dan pendidikan. TDMRC/Universitas melakukan penelitian dan pelatihan di bidang kebencanaan.
Peran masyarakat pada fase ini menjadi bagian dari proses mitigasi secara aktif, membentuk kelompok tangguh bencana (PRB).  Peran S2 melakukan penelitian dan kajian dalam Pengurangan risiko bencana. Dan mencoba menemukan metode-metode baru dalam Pelaksanaan PRB.
D. Siklus Preparedness (Kesiapsiagaan).
Pada siklus Preparedness (kesiapsiagaan) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
      Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud meliputi: kesiapsiagaan; peringatan dini; Kesiapsiagaan, penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi evakuasi penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Peringatan dini dilakukan dengan cara: mengamati gejala bencana; menganalisa data hasil pengamatan; mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa; menyebarluaskan hasil keputusan; dan mengambil tindakan oleh masyarakat.
Lembaga yang terlibat pihak pemerintah (BPBA/BPBD) berupaya melakukan perencanaan penanggulangan bencana; melakukan upaya pengurangan dan pencegahan resiko bencana;melakukan koordinasi dalam penerapan rencana tata ruang yang berbasis pengurangan resiko bencana; melakukan koordinasi pelestarian fungsi lingkungan hidup; melakukan koordinasi pemanduan perencanaan pembangunan; menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penelitian di bidang penanggulangan bencana; melakukan pemetaan daerah rawan bencana; menyusun persyaratan analisis resiko bencana; dan menyusun persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Prinsipnya semua lembaga pemerintah dan non pemerintah berupaya focus pada melakukan pelatihan dan penyiapan masyarakat dalam peningkatan capasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Peran masyarakat yaitu diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pelatihan dan berupaya bersiapsiaga sebaik mungkin dalam menghadapi kondisi bencana apabila hal tersebut terulang kembali sementara peran S2 kebencanaan selain merekomendasikan kegiatan apa yang baik dilakukan berdasarka kajian-kajiannya juga dapat memberikan pelatihan-pelatihan dalam rangka kesiapsiagaan terhadap bencana.

Rabu, 06 November 2013

Pola Perkembangan Kota


Pengertian Perkembangan  Kota
Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal bus dan sebagainya.

Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.

Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka  tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan,  yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).

Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a)         Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).

b)         Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).

c)          Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).

Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :

1)      Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
2)      Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3)      Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut dengan konurbasi.

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a)      Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa,  sehingga pertalian fungsional lebih efektif dan lebih efisien.
b)      Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi oleh ”ribbon development”.
c)       Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar.
d)      Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa kendala fisikal.
e)      Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi oleh perkembangan vertikal.
f)       Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :

1)      Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi, material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
2)      Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.

Pola Perkembangan Kota

Pengertian Perkembangan  Kota
Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal bus dan sebagainya.

Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.

Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka  tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan,  yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).

Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a)         Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).



b)         Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).



c)          Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).



Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :

1)      Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
2)      Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3)      Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut dengan konurbasi.



Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a)      Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa,  sehingga pertalian fungsional lebih efektif dan lebih efisien.
b)      Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi oleh ”ribbon development”.
c)       Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar.
d)      Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa kendala fisikal.
e)      Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi oleh perkembangan vertikal.
f)       Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.



Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :
1)      Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi, material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
2)      Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.