Islamic Planning adalah
perencanaan kota yang berdasarkan dengan Shari’ah,Al-Quran, sunnah, dan tradisi
yang terbangunan dalam lingkungan Islami. Perencanaan kota ini masih
terpengaruh oleh aturan-aturan Classical Planning, yakni elemen-elemen
pembentuk jalan dimana terdapat hirarki jalan dan pengembangan dari geometri
grid dimana terdapat pertemuan jalan dengan garis tegas dan benteng atau tembok
kota. Islam juga mengambil filosofi Classical Planning yakni perencanaan kota
yang memberikan peningkatan kualitas hidup penghuningnya namun proses
pembentukannya berbeda.
Menurut awal pembentukan
kota, Kota dengan perencanaan Islami ini diawali pendirian masjid oleh
nabi/pemuka agama pada pusat kota. Kemudian nabi/ pemuka agama tersebut memebagi-bagi
lahan untuk khittahs (quarter), ‘aataa (properties) dan dur (house) kepada
muhajreen (kelompok immigrant pengikutnya), immigrant lainnya, suku/rumpun asli
tempat tersebut, ‘an,ar (masyarakat asli pengikutnya), individu-individu yang
lain. Proses ini dapat dilihat pada kota Medina. Pembagian wilayah seperti ini
untuk memelihara kesatuan sosial dan hubungan antar anggota suku/rumpun dan
antara suku/rumpun yang lain.
Menurut Hisham Mortada,
prinsip-prinsip perancangan kota dengan dasar Islamic Planning meliputi :
1.
Aplikasi dari aturan-aturan shari’ah
Hal ini merupakan
tanggungjawab dari kewajiban kaum muslim untuk memelihara keyakinannya dan
meningkatkan aplikasi dari shari’ah. (Qur’an, Su. 8:72). Pengembangan aplikasi
dari shari’ah dalam lingkungan kota Islami seharusnya dicapai dengan menyatakan
yang baik dan melarang yang bersifat jahat atau tindakan dan elemen yang tidak
pantas dimana telah dinyatakan oleh Tuhan di dalam kitab maupun melalui
komunikasi dengan nabi-nabi atau pemuka agama.
Sumber utama
(Qur’an dan sunnah) dari figh adlah hal yang vital dalam memindai nilai-nilai
sistem Islami atau shari’ah pada desain dan kriteria perencanaan. Sebagai
hasilnya, lingkungan tradisional yang terbentuk merupakan interaksi antara figh
dan proses perencanaan. Hal ini dapat dilihat pada kota Medina dan Tunis
(O.Llewelyn).
Area
publik dengan area privat dibedakan dengan pengurangan ukuran area dan
perubahan karakter, bentuk dn fungsi dari publik menuju semi-publik menuju
cul-de-sac dan kemudian courtyard dari rumah masing-masing keluarga. Cul-de-sac
bersifat sangat privat dimana merupakan pertambahan dari ruang privat rumah
(courtyard).
2.
Refleksi dari konsep ‘ummah
Sebagai salah satu objektif dari Islam, refleksi dari konsep
‘ummah atau solidaritas sosial antar masyarakat merupakan prinsip pokok dari
perencanaan dan regulasi sebuah pembangunan lingkungan Islami. Konfigurasi dari
komponen-komponen kota (seperti jalan, ruang terbuka dan penggunaan lahan)
seharusnya mengikuti prinsip ini. Sehingga lingkungan yang terbentuk memiliki
orientasi sosial yang tinggi dengan adanya hubungan dan interaksi sosial di
dalamnya.
Untuk mengakomodasi
interaksi dan hubungan sosial pada masyarakat, di dalam kota Islami terdapat fasilitas
umum seperti pasar (market), square, area pendidikan dan pemerintahan. Dimana
fasilitas umum ini barada di sekitar masjid (sebagai pusat penyebaran kota).
Sehingga dapat diperjelas pada skema dibawah bahwa terdapat urutan dari masjid
hingga rumah yang sifatnya runtut dari publik-semi publik-semi privat-privat.
3.
Pencegahan pada tindakan-tindakan yang
merugikan masyarakat
Dhirar merupakan perilaku seseorang yang merugikan orang lain
untuk kepentingan diri sendiri. Lha dharar wa la dhirar merupakan prinsip
kegunaan dalam perencanaan dan pembangunan lingkungan tradisonal Islami dimana
menjauhi perilaku dhirar itu sendiri.
Pencegahaan ini seharusnya terealisasi pada perencanaan dengan
mengindari kreasi dari elemen yang tak ada gunanya. Penegasan dengan peraturan-peraturan
regulasi pembangunan memiliki tujuan untuk melindungi konsep ‘ummah dan
peningkatan keadilan sosial.